Swasembada Gula Tahun 2019 Optimistis Dicapai

image_url

Tidak ada yang tidak mungkin jika mau berusaha termasuk menuju swasembada gula (konsumsi) di tahun 2019 dengan target produksi 3 juta ton.

Hal tersebut mengemukan saat Diskusi Nasional Gula oleh Media Perkebunan dengan tema “Mampukah Gula Indonesia Berdaya Saing,” di Jakarta.

“Jadi kita menargetkan dalam road map di tahun 2019 swasembada gula konsumsi, produksi gula 3 juta ton. Produksi saat ini 2,5 juta ton dengan areal sekitar 450 ribu ha, dan target tahun depan 500 ribu ha, sehingga kurang 50 ribu ha untuk mencapai 3 juta ton. Maka saat ini produktivitas 5,5 ton/ha maka harus ditingkatkan 0,5 ton/ha sehingga bisa mencapai 6 ton/ha,” kata Agus Wahyudi, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian (Kementan).

Lebih lanjut, menurut Agus, sebenarnya untuk mencapai produktivitas sebesar 6 ton/ha bukanlah sulit, karena hal tersebut sudah pernah dicapai pada tahun 2008. Tapi setelah itu turun kembali menjadi 5 ton/ha. Kemudian rendemen gula pun harus kembali ditingkatkan dari 7,5 persen menjadi 8 persen, seperti tahun 2003.

“Sehingga kalau naik dalam 3 tahun kedepan bukan khayalan karena pernah mencapai 6 ton pada 2016,” himbau Agus.
Saat ini Jawa Timur merupakan kontributor gula nasional dengan produksi 46,39% dari total produksi nasional sedang luas lahan mencapai 45% dari total luas lahan tebu. Kontributor ke dua adalah Lampung 27,7% dari total produksi nasional sedang luas lahannya 35% dari total luas lahan nasional.

Perluasan areal itu sendiri, Agus mengatakan ada tiga sumber. Pertama mengembalikan areal tebu rakyat sebesar 20 ribu ha yang diperoleh dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung dan lain-lain. Kemudian perluasan tebu rakyat 10 ribu ha, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Perluasan di areal PG baru luar Jawa yaitu Lampung, NTB, NTT dan OKI.

Kedua, Agus menambahkan hal yang tidak kalah penting selain perluasan yaitu harus dilakukan bongkar ratoon bertahap. Hal ini mengingat tidak sedikit petani yang masih enggan melakukan bongkar ratoon secara tepat waktu.

Sebab produktivitas yang tinggi akan bisa dicapai secara berkelanjutan apabila dilakukan sesuai good agriculture practices (GAP). Diantaranya mengairi tebu di lahan kering dengan mengembangkan mengembangkan sumur dalam dan pompa, bongkar ratoon menggunakan varietas unggul serta melakukan perawatan.

“Sehingga tahun depan secara bertahap kita bisa membangun sumur dalam biaya Rp 500 juta rupiah dan pompa perlu dengan biaya 25 juta per unit. Harapannya kita bisa mengairi lahan dengan tesedianya kedua hal ini sekalipun datangnya elnino masih bisa meningkatkan produktivitas,” papar Agus.

Ketiga, Agus menyarankan sudah saatnya petani meningkalkan pola konvessional beralih ke mekanisasi. Mekanisasi sudah menjadi kewajiban karena tenaga kerja sudah sangat sulit.

Selain itu karena karakter tebu yang ada hanya sedikit begitu juga yang bersedia memelihara tebu secara baik. Maka dalam hal ini mekanisasi sangat berfungsi. Diantaranya membangun drainase di areal sawah. Hal ini juga untuk mengantisipasi musim hujan tapi tetap bisa untuk mengeluarkan air.

Ditempat yang sama, Agus Pakpahan, Direktur Eksekutuf menambahkan bahwa sebenarnya revolusioner itu impor. Sebab sejak zaman orde baru (orba) sudah ada impor 500 ribu ton, tapi sejak reformasi melonjak menjadi 2 juta ton. Itu revolusi.

“Untuk itu dalam hal ini pembelajaran menjadi sangat penting untuk bisa maju. Sebab yang namanya swasembada gula tidak akan tercapai kalau saja hanya di atas kertas,” tegas Agus.

Diantaranya, Agus mengakui masalah tebu yaitu diantaranya harga gula dunia yang turun terus. “Sedangkan sampai sejauh ini kita bisa bertahan,” tutur Agus.

Adapun turunnya harga gula dunia, Agus mengatakan karena tiap-tiap negara berbeda-beda dalam menagnani masalah pergulaan ini. Diantaranya AS karena ada subsidi. Artinya AS meberikan penghargaan kepada PG bukan karena efisien karena industri gula mampu menyerap tenaga kerja dan berfungsi sebagai keamanan pangan. Kalau efisiensi di sana tidak terjadi.

Disisi lain, ada beberapa hal yang mempengaruhi naik turunnya harga gula di asing-masing negara. Diantaranya lingkungan,sosial,dan politik. Sebab harus diakui munculnya PG rafinasi saat inijika tidak dapat dikendalikan, maka bisa menjadi faktor sosial politik. “Jadi utk mencapai swasembada gula perlu diperhatikan berbagai faktor,” kata Agus.

Sementara itu, Agung P Murdanoto, Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia DKI dan Jabar menyatakan permasalahan gula pada on farm adalah sulitnya mengembangkan areal baru dan mempertahankan yang sudah ada; keterbatasan infrastruktur terutama di luar Jawa, kurangnya penciptaan dan persediaan bibit unggul baru dan berkurangnya tenaga kerja sektor budidaya; keterbatasan akses permodalan bagi petani sehingga penerapan teknologi belum optimal; kurangnya sarana irigasi dan dukungan kebijakan.

Sedang di Off farm beberapa pabrik gula memiliki keterbatasan fasilitas giling sehingga tidak mampu bersaing; PG sudah tua sehingga efisiensi rendah, mekanisasi dan implementasi masih terbatas; kualitas gula tidak stabil, biaya produksi relatif tinggi, belum berkembangnya diversifikasi dan hilirisasi produk berbasis tebu sehingga daya saing rendah dan kesiapan berkompetisi di pasar.

“Artinya, tidak hanya perluasan lahan atau dari sisi on farm-nya saja yang dibenahi tapi juga sisi off farm-nya atau hilirisasi guna mencapai swasembada gula,” pungkas Agung. YIN/S

 

sumber: perkebunannews.com